Jumat, 03 Januari 2014

Gubuk Kenangan

           Terbuat dari papan berwarna alami yang disusun rapi tanpa celah, empat sisinya yang telah rekat menyatu dengan sebuah atap limas persegi. Bagian alasnya adalah tanah yang berangsur padat sebagai saksi aktivitas pemilik. Di sisi depannya terdapat dua buah lubang persegi panjang dengan perbandingan 3:1 yang posisi keduanya bersebelahan, serta satu buah lubang persegi di sisi kanan bangunan itu berukuran 1m x 1m. Lubang-lubang semi permanen inilah yang menjadi pengantar berkas cahaya  matahari ke dalam ruangan.
Pada setiap sisi tegaknya ditancapkan pelbagai alat. Alat yang telah merambah seluruh permukaan bidang yang menjadi tempat bangunan sederhana itu berdiri. Alat itu pernah mengiris tipis daun tembakau, menganyam tembikar, menjadi sebab rumah cacing terusik, memangkas kayu liar, membabat ilalang, menjadi saksi perkawinan vanili, menjelajah kemuningnya padi, dan menguliti jagung.


          Sisi kiri dan belakang bangunan itu direntangkan beberapa utas tali yang melintang sebagai tempat bergantungnya pakaian dinas dan sebagian hasil tani. Pakaian yang beraroma non parfum itu akan selalu digantung disana manakala mentari mulai tenggelam dan akan dibawa sang pemilik ketika fajar menyingsing.
          Tepat di sisi kiri ruangan terdapat beberapa papan persegi panjang  menyatu dengan empat kaki yang terbuat dari kayu kotak berukuran kurang lebih 3cm x 3cm x 100cm. Bangun ini disebut Kasur. Kasur yang menjadi tempat melepas penat seharian - yang akan selalu memaksa - bila pemiliknya harus bekerja extra time sehingga tidak dimungkinkan untuk pulang ke rumah. Kadangkala, waktu sekitar 15 menit  setiap hari akan dihabiskan disana ketika jam istirahat siang tiba.
          Tepat di hadapan sisi depan bangunan itu adalah sebuah tungku tua yang akan selalu menyala dan menandakan bahwa pemiliknya ada. Tungku biasa dipergunakan untuk menghangatkan diri ketika udara cukup dingin dan memasak aneka hidangan baik untuk diri sendiri maupun untuk semua hewan peliharaan. Di samping tungku terlihat beberapa kuali yang kucel dan hitam berkerak karena bahan bakar yang digunakan adalah kayu kering yang berasal dari kayu hidup yang telah dipangkas menggunakan alat tadi.
          Secara keseluruhan bangunan itu terletak persis di sisi kiri depan sebuah areal berukuran kurang lebih 20m x 15m. Tanaman cokelat nan rindang selalu berbuah banyak pada musim tertentu tumbuh tepat di sebelah kiri luar areal. Areal itu dipagar keliling oleh tanaman ubi kayu yang menjulang sampai tiga meter dan bersusun sangat rapat dengan diselingi beberapa pohon pinang. Kerapatannya bertujuan agar ayam peliharaan tidak dapat keluar melalui jarak celah antar pohon, walaupun ayam-ayam itu setiap pagi akan dibiarkan berkeliaran mencari makan sendiri dan dihalau kembali masuk kandang setiap sore hari. Konon katanya ayam yang dibiarkan berkeliaran akan tumbuh lebih sehat daripada ayam yang dikurung sepanjang hari, selain juga untuk menghemat makanan barangkali. Tapi yang terpenting disini adalah gambaran kecerdasan si pemilik yang mengajari disiplin kepada semua hewan peliharaannya.
          Di dalam areal itu dibangun sebuah miniatur bangunan besar, tapi ada sedikit perbedaan dengan bangunan aslinya yakni tidak menyatu langsung dengan tanah melainkan berbentuk panggung. Antara tanah dan miniatur ini dihubungkan oleh dua buah kayu seukuran pergelangan tangan orang dewasa dengan membentuk sudut 45˚ terhadap tanah. Miniatur ini berfungsi sebagai tempat menetap ratusan ayam kampung yang harus meniti kayu itu agar dapat keluar masuk kandang.
          Oh ya ..di sisi kiri pohon cokelat yang saya katakan tadi – tidak persis – yakni kira-kira posisinya adalah hipotenusa yang berukuran 5 meter dengan 4 meter perpanjangan sisi depan pagar sebagai sisi depannya, terdapatlah sebuah kolam kecil yang menampung air hujan dan biasa digunakan sebagai air untuk menyiram tanaman-tanaman kecil di sekitanya seperti cabai, kemangi, tomat kecil, serai dan lainnya.
          Sedangkan jika aktivitas membutuhkan air yang lebih banyak, seperti mandi dan mencuci piring atau pakaian, maka kita dapat berjalan kaki sekitar 50 meter ke arah selatan. Di sana ada sumber mata air yang diolah oleh kakek menjadi sebuah pemandian mini yang sangat menawan, namun entah mengapa airnya tidak sejernih air pancuran pada umumnya. Konon katanya itu depengaruhi oleh zat kandungan tanah di sekitar sumber mata air. Walaupun demikian ketika si pemilik dituntut untuk bermalam karena padatnya pekerjaan disana, maka pemandian ini akan menjadi pilihan numero uno.
          Kehidupan disini sangat ekonomis karena keahlian sepeninggalan zaman Belanda yang masih dimiliki si kakek dan nenek. Kakek selalu membuat aneka peralatan sendiri, seperti mengukir lesung dari kayu, membuat centong dari bambu, membuat tempat dedak dari ban mobil bekas yang dibelah dua, sampai kepada membuat kursi panjang tepat di bawah pohon biwa yang besar. Di belakang pohon biwa itu terdapat pelbagai pohon-pohon lain yang menghadap langsung ke areal berpagar dan bangunan besar tadi. Jaraknya kira-kira 10 meter saja. Masih segar di ingatan cucu ketika memanjat pohon kopi yang sedang berbuah sangat lebat, mungkin bisa dipanen satu ember besar untuk setiap pohonnya. Dia dapatkan rasa sedikit asam bercampur manis dari kopi yang dipetik sendiri ditambah beberapa gigitan semut hitam di betis dan punggung karena mereka merasa dia telah mengusik harinya dengan si kopi. Pernah juga dia memetik biwa, namun karena pohonnya yang besar dan tinggi sehingga tidak diperbolehkan memanjat sampai jauh ke atas mungkin juga karena badan mini-nya yang membuat ragu si kakek. Tapi yang paling menyenangkan adalah ketika memetik buah jambu air, sawo dan alpukat karena pohonnya yang sangat rendah namun menjanjikan rasa yang luar biasa. Jambu itu sangat segar dan tidak terlalu asam apalagi dimakan ketika siang hari yang terik maka air dari buah yang berwarna merah jambu itu akan langsung menyapu tenggorokan yang kering dengan lembut. Ditambah dengan buah sawo yang besar berwarna cokelat nan bulat dengan daging yang sangat tebal menambah kenikmatan yang tiada tara kala itu. Tidak kalah, alpukat yang besar dan berdaging tebal berwarna agak kekuningan terasa sangat legit. Si cucu sangat suka ketika kakek mencampurnya dengan gula aren buatannya sendiri.
          Memang disana adalah tamannya buah-buahan, durian, jeruk arum manis yang besar, aneka jenis tebu, degan alias kelapa, nangka, jambu kelutuk, teong belanda, kuini, sirsak, rambutan, duku, mangga juga ada. Jadi kalau ditanya soal gizi, pemilik paling ahli dalam hal ini. Menu seimbang dan alami akan selalu disajikan juga kepada kamu, bila sudi berkunjung. Pernah sekali waktu seorang yang tersesat datang menyambangi dan ia kelaparan, maka ketulusan hati dari si pria beruban itu yang membuat semua selesai dengan harmonis, walaupun sempat ada raut khawatir di wajah istrinya terhadap keberadaan orang asing itu.
          Tapi inilah cerita kesederhanaan kehidupan sepasang sejoli yang telah renta di ladangnya yang berukuran kurang lebih 2 ha. Di lahan yang mempunyai cerita yang sangat panjang dalam memperjuangkan hak milik atas tanah itu. Makna kekejian satu-satunya yang dia ketahui saat itu adalah zaman penjajahan Belanda dan masa Pendudukan Jepang yang menyisakan bekas peluru panas prajurit Belanda yang menembus telapak tangan kakek. Mungkin jika masih ada, dia akan berbicara kembali mengenai falsafah kehidupan sesungguhnya telah menyimpang pada generasi ini. Dua sejoli itu menghasilkan tiga orang wanita tangguh dan dua orang pria Sarjana Hukum yang kini mapan di Ibu kota Sumatera Utara – mungkin takkan menyangka atau malah telah memprediksi keadaan ini. Karena gubuk yang berdiri di atas lahan itulah yang telah menjadi saksi bisu buruknya kesyirikan, ketika bangunan itu dibakar hingga ludes oleh yang tak dikenal sampai semua hasil tani bertahun-tahun menjadi abu yang sia-sia. Walaupun telah tiada, mereka telah menyatu dalam aliran darah banyak keturunannya bahkan lebih detail dari apa yang saya gambarkan ini.


CREATED BY: ARIJA BR GINTING

2 komentar: