Titik
air menuju pusat bumi sesekali terdengar. Titik yang dalam selang tertentu juga
mengetuk atap, dedaunan dan ranting. Titik yang dini hari mengiringi detakan
jam dinding. Seakan tak mau kalah, ayam jago pun turut bersuara dengan
frekuensi lebih kecil dari semuanya. Satu lagi, jangkrik pun dengan padu
mewarnai irama yang seolah menggambarkan bahwa ini adalah pagi buta.
Entah mengapa sahabat imajiner muncul hari ini dalam kondisi yang sangat tidak
lazim. Ia tidak lagi ramah seperti biasa, mengajak berjalan-jalan menikmati
warna pelangi yang kerap muncul dalam situasi seperti ini. Guratan senyum pun
enyah, yang tinggal hanya guratan bergelombang tipis di dahinya, itulah
kernyitan.
Dengan
polosnya aku bertanya,
“Mengapa kamu seperti itu?
apakah ada tindakanku yang tidak pada tempatnya?”
Masih
tanpa senyuman, setelah tarikan nafas yang dalam ia perlahan berkata
"Bukan tindakan, tapi
pikiran".
"Tidakkah kau mampu
menerjemahkan wajahku sekarang. Wajah yang sangat berubah dari
sebelumnya?".
"Ya,
aku melihatnya, untuk itulah aku bertanya kepadamu, apakah yang membuatmu
berubah".
"Sahabatku, kau berkata
seolah-olah perubahan hanya ada pada diriku, dan menunjukkan kalau akulah yang
salah. Hal seperti inilah yang sebenarnya aku tidak sukai darimu. Kemampuan
membacamu tidak pernah berkembang, sensifitasmu rendah, matamu pun hanya dapat
memotret benda konkret. Lantas masihkah kau membutuhkan aku yang imajiner. Aku
melihat bahwa pikiranmu bekerja bahkan jauh di bawah 10%. Padahal ia diciptakan
bukan untuk dikeloni saja".
Dengan mata berbinar, sahabat imajinerku mulai tersendat bicaranya,
"aku ada bukan untuk
melahirkan apatisme, tapi entahlah mungkin ini semua salahku".
Kali ini air matanya mulai menetes menatap wajahku yang masih termangu.
"Asal engkau tahu, Dia
mengirimku untuk menemanimu menyusun strategi, tapi kini hanya angka yang
semakin besar. dan seperti tidak terlihat arus baliknya. Waktumu semakin
singkat. Sekarang aku takkan lagi mengajakmu menikmati pelangi, tapi tolong lihatlah
sisi lainnya. Terjemahkanlah ke dalam bahasamu. Aku sudah semakin menua, takkan
selamanya bersamamu sahabatku. Aku memiliki limitasi yang jauh lebih singkat darimu."
"Pada titik ini seharusnya kau paling produktif, sehingga kau mampu
bertanggungjawab nanti di pengadilan."
Aku mulai merangkai sebuah
cerita yang mengandung pesan penting dari sahabatku ini. Celetukan terlontar
tanpa diatur,
"Keadaan yang memaksaku
untuk menutup mata. Karena jikapun membelalak, debit udara yang akan membesar
sehingga menjadi merah dan meneteskan air. Aku memahami bahwa satu dengan yang
lain kerap tak sejalan, namun akalku ini bukan segalanya sehingga dalam keadaan
tertentu ia bahkan mundur dan tak lagi mau mengkonkritisasi bahasa
abstrakmu."
Sambil memegang bahunya, aku
mengharap alasan pembenar
"Sahabatku
sekarang coba engkau bayangkan berada di posisiku, apakah yang akan engkau
lakukan"
Di situlah letak
kekanak-kanakanmu,
"Takdir itu bukan untuk
dipertukarkan. Setiap orang diciptakan dengan peranan masing-masing, tidak akan
pernah ada simpati padamu jika kau terus memikirkan hal pertukaran."
"Aku dikirim untuk
temanmu bermain, bukan untuk mempermainkan keadaan. Sekarang putuskanlah,
engkau mau berbuat apa? Karena nafasku semakin pendek dan peremajaan tidak pernah
ada."
Dengan tatapan mata yang
semakin memendek, bibir memucat dan alunan nafas yang melemah, sahabatku
berpesan
"Sebelumnya aku ingin
memuji karyamu dalam menciptakan pilihan ketiga di antara dua pilihan yang ada,
itu adalah sisi lain darimu.”
“Sekarang coba kau tangkap
pesan-pesan yang disampaikan oleh benda dan keadaan yang lain.”
“Mereka semua adalah
reingkarnasi dariku.”
“Jika kau merindukanku,
berinteraksilah.”
“ Semoga engkau cepat
belajar".
Akupun mengangguk setengah paham dengan pesan terakhir itu. Pandanganku tajam ke arah lantai selama beberapa detik, disitulah waktu menelan sahabatku. Seketika aku menyendiri lagi dan kupikir seterusnya akan seperti ini.
aku suka ini :D
BalasHapusTerimakasih kunjungannya mirul,, :)
BalasHapus