Sabtu, 17 Januari 2015

Sahabat Imajiner

Titik air menuju pusat bumi sesekali terdengar. Titik yang dalam selang tertentu juga mengetuk atap, dedaunan dan ranting. Titik yang dini hari mengiringi detakan jam dinding. Seakan tak mau kalah, ayam jago pun turut bersuara dengan frekuensi lebih kecil dari semuanya. Satu lagi, jangkrik pun dengan padu mewarnai irama yang seolah menggambarkan bahwa ini adalah pagi buta. Entah mengapa sahabat imajiner muncul hari ini dalam kondisi yang sangat tidak lazim. Ia tidak lagi ramah seperti biasa, mengajak berjalan-jalan menikmati warna pelangi yang kerap muncul dalam situasi seperti ini. Guratan senyum pun enyah, yang tinggal hanya guratan bergelombang tipis di dahinya, itulah kernyitan.
 Dengan polosnya aku bertanya,

“Mengapa kamu seperti itu? apakah ada tindakanku yang tidak pada tempatnya?”
“Ayo sahabat ceritakanlah”.
Masih tanpa senyuman, setelah tarikan nafas yang dalam ia perlahan berkata
"Bukan tindakan, tapi pikiran".
"Tidakkah kau mampu menerjemahkan wajahku sekarang. Wajah yang sangat berubah dari sebelumnya?".
 
 "Ya, aku melihatnya, untuk itulah aku bertanya kepadamu, apakah yang membuatmu berubah". 

"Sahabatku, kau berkata seolah-olah perubahan hanya ada pada diriku, dan menunjukkan kalau akulah yang salah. Hal seperti inilah yang sebenarnya aku tidak sukai darimu. Kemampuan membacamu tidak pernah berkembang, sensifitasmu rendah, matamu pun hanya dapat memotret benda konkret. Lantas masihkah kau membutuhkan aku yang imajiner. Aku melihat bahwa pikiranmu bekerja bahkan jauh di bawah 10%. Padahal ia diciptakan bukan untuk dikeloni saja".

Dengan mata berbinar, sahabat imajinerku mulai tersendat bicaranya,
"aku ada bukan untuk melahirkan apatisme, tapi entahlah mungkin ini semua salahku".

Kali ini air matanya mulai menetes menatap wajahku yang masih termangu.
"Asal engkau tahu, Dia mengirimku untuk menemanimu menyusun strategi, tapi kini hanya angka yang semakin besar. dan seperti tidak terlihat arus baliknya. Waktumu semakin singkat. Sekarang aku takkan lagi mengajakmu menikmati pelangi, tapi tolong lihatlah sisi lainnya. Terjemahkanlah ke dalam bahasamu. Aku sudah semakin menua, takkan selamanya bersamamu sahabatku. Aku memiliki limitasi yang jauh lebih singkat darimu."
"Pada titik ini seharusnya kau paling produktif, sehingga kau mampu bertanggungjawab nanti di pengadilan."

 Aku mulai merangkai sebuah cerita yang mengandung pesan penting dari sahabatku ini. Celetukan terlontar tanpa diatur,
"Keadaan yang memaksaku untuk menutup mata. Karena jikapun membelalak, debit udara yang akan membesar sehingga menjadi merah dan meneteskan air. Aku memahami bahwa satu dengan yang lain kerap tak sejalan, namun akalku ini bukan segalanya sehingga dalam keadaan tertentu ia bahkan mundur dan tak lagi mau mengkonkritisasi bahasa abstrakmu."

Sambil memegang bahunya, aku mengharap alasan pembenar
"Sahabatku sekarang coba engkau bayangkan berada di posisiku, apakah yang akan engkau lakukan"

Di situlah letak kekanak-kanakanmu,
"Takdir itu bukan untuk dipertukarkan. Setiap orang diciptakan dengan peranan masing-masing, tidak akan pernah ada simpati padamu jika kau terus memikirkan hal pertukaran."
"Aku dikirim untuk temanmu bermain, bukan untuk mempermainkan keadaan. Sekarang putuskanlah, engkau mau berbuat apa? Karena nafasku semakin pendek dan peremajaan tidak pernah ada." 
 

Dengan tatapan mata yang semakin memendek, bibir memucat dan alunan nafas yang melemah, sahabatku berpesan
"Sebelumnya aku ingin memuji karyamu dalam menciptakan pilihan ketiga di antara dua pilihan yang ada, itu adalah sisi lain darimu.”
“Sekarang coba kau tangkap pesan-pesan yang disampaikan oleh benda dan keadaan yang lain.”
“Mereka semua adalah reingkarnasi dariku.”
“Jika kau merindukanku, berinteraksilah.”
“ Semoga engkau cepat belajar".

Akupun mengangguk setengah paham dengan pesan terakhir itu. Pandanganku tajam ke arah lantai selama beberapa detik, disitulah waktu menelan sahabatku. Seketika aku menyendiri lagi dan kupikir seterusnya akan seperti ini.

2 komentar: