Selasa, 08 Oktober 2013

Karo Berbagi Hati dengan Asing

Seperti dilansir harian Citizen Journalism, dalam keadaan normal cadangan energi fosil Indonesia hanya mampu bertahan hingga tahun 2030. Untuk itulah, sekarang  banyak pandangan yang mulai melirik dan merencanakan untuk memberdayakan sumber energi lain yang potensial, seperti energi Matahari, Air, Angin, Panas Bumi (Geothermal), dan Biomassa (sampah perkotaan atau limbah pertanian).
Indoesia selalu melibatkan pihak asing dalam mengekplorasi dan mengeksploitasi sumber energi yang dimiliki karena Teknologi dan Sumber Daya Manusia yang belum memadai. Hal ini yang mengakibatkan posisi tawar (bargaining position) Indonesia selalu rendah di mata dunia. Kalau hitung-hitungan kandungan energi fosil yang kita miliki sebenarnya mampu bertahan sampai 2060 atau bahkan lebih lama, apabila dari awal kita mampu mengelolanya sendiri, sehingga tidak perlu hitung persenan dengan pihak asing. Artinya sementara cadangan energi fosil yang kita miliki habis maka fosilisasi untuk menghasilkan energi baru telah terjadi kembali. Sehingga dengan memanfaatkan siklus fosil saja sudak cukup mengakomodir kebutuhan energi dalam negeri.

Namun hal tersebut jauh berbeda dengan kenyataan dimana kita dituntut mempersiapkan diri menghadapi era energi non fosil. Pertanyaannya, apakah dalam mencari dan memanfaatkan sumber energi baru ini pun harus melalui bargaining process. Jawabnya, ya. Proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang ada di desa Rih Tengah, kecamatan Kutabuluh Kabupaten Karo adalah contoh konkretnya. Proyek yang dikelola oleh PT Wampu Electrik Power (WEP) menjalin sistem kerjasama diantaranya antara Australia, Indonesia, Jepang, Swiss. Proyek tersebut memanfaatkan aliran air Sampuren sebagai sumbernya.
Berdasarkan pengalaman kerjasama dengan pihak asing, posisi negosiasi indonesia tidak pernah futuristik sehingga banyak sekali kontrak yang akhirnya di renegosiasi. Contohnya: Inalum dan berbagai Kontrak karya Migas. Apakah hal ini juga terjadi pada proses negosiasi proyek ini?. Oleh karena minim dan sulitnya memperoleh informasi mengenai proyek WEP ini, penulis tidak dapat memaparkan  gambaran kerjasama tersebut.
Namun demikian sedikit informasi terkait dengan proses birokrasi Perdakab karo, pada februari 2013, Effendi Sinukaban (Ketua tim Verifikasi Karo) mengatakan, ada sepuluh izin yang belum dimiliki PT WEP sesuai Perda Kab Karo, yaitu izin gangguan usaha PLTA dan jaringan transmisi. Perusahaan ini juga belum memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) DAM, sand trap, water way, haed tank, penstock, tail race, swicthyard dan IMB pendirian menara jaringan transmisi[1]. PT WEB sendiri mengatakan bahwa mereka akan segera melengkapi izin tersebut dalam waktu dekat, padahal proyek ini telah berjalan sejak tahun 2010 lalu. Apakah masalah izin ini dapat diasumsikan sebagai bentuk itikad tidak baik? Kita lihat saja beberapa tahun mendatang seberapa jauh proyek ini membawa efek kepada kehidupan masyarakat sekitar.



[1] Dessy Tarigan, DPRD Karo Mendesak Pemkab Hentikan Segala Aktivitas PT WEP, http://www.sumutberita.com/2013/02/26/dprd-karo-mendesak-pemkab-hentikan-segala-aktivitas-pt-wep/ (diakses 8 Oktober 2013)

1 komentar:

  1. Ironisnya, PT WEP mengadakan konspirasi dengan aparat penegak hukum dengan cara mengkriminalisasi Ahli Waris

    http://rsantanabarens.blogspot.com/

    BalasHapus