I AM NOT ALONE
Selama tiga puluh menit sehari dalam waktu
tiga hari, dia berdialog intrapersonal. Tidak sia-sia, ternyata ia sampai pada
suatu kesimpulan bahwa ternyata feel
alone in a lonely place tidak
benar, apalagi feel alone in a crowd .
Dia bercerita kepada saya pada malam sabtu kemarin, kira-kira beginilah
petikannya.
“Pada usia saya ke- 18 tahun, saya merenung mengenai diri
saya adanya. Untuk apakah saya terlahir ke dunia ini dengan serba keterbatasan
dan kerap terabaikan dalam persaingan di lingkungan sosial? Mengapa saya tidak
seberuntung mereka? Mereka pintar, mereka cantik, mereka disayangi, mereka
tampan, mereka kaya, they have
everything.
Agama menjanjikan surga neraka, pendidikan menjanjikan
kemuliaan, kekayaan menjanjikan pepularitas, hedonisme menjanjikan kepuasan dan
berbagai pengalaman yang saya peroleh selama 18 tahun hidup saya itu, sangat
mempengaruhi perspektif dan karakter yang berkolaborasi menjadi sistem
kepribadian dalam aktualisasi diri di lingkungan sosial saya. Hal inilah yang
kemudian menyediakan jawaban atas pertanyaan di atas.
Suatu hari, saya merasa sangat senang ketika mama memuji
saya, tapi kemudian pujian itu melekat di jaringan otak yang entah bagaimana
caranya sampai membuat saya menjadi tinggi hati. Hal ini menjadi kontradiktif
ketika saya mengernyitkan dahi melihat orang yang rela berbohong demi
memperoleh penghargaan (orang yang gila prestige).--- Memasuki usia ke-19 tahun
ternyata quote “orang yang paling mulia adalah orang yang bermanfaat bagi orang lain”
jo pendapat Jeremy Bentham “utilitarianisme” terkristalisasi ke
dalam setiap tindakan alami saya.”
Jengah sekali mendengar cerita sahabat
saya itu, sehari semalam tidak akan membuat saya memahami secara utuh apa yang
dia ceritakan. Mungkin hanya 30% saja yang saya pahami. Namun, itu sangat
pantas untuk dipertimbangkan sebagai salah satu metode pendekatan dalam
mengembangkan pola pikir kita.
“Pada
usia ke-20 tahun saya mulai merasakan kenikmatan luar biasa ketika saya berhasil
membuat orang lain tersenyum. Pada saat itulah saya merasa sangat berguna dan
layak menjadi bagian dari makhluk sosial Zoon
Politicon. Namun masalahnya adalah Saya terlalu sibuk untuk memberi
kebahagiaan (semampu saya) kepada lingkungan sosial, dengan mengabaikan diri
sendiri. Saya sering membuat mereka tersenyum, merasa bersalah ketika berbohong
kepada mereka, merasa malu ketika menyakiti perasaan mereka.
Tindakan itu ternyata merusak keseimbangan diri, karena pada
kenyataannya saya sering berjanji untuk mengerjakan tugas dalam dua hari,
tetapi setelah memasuki satu minggu belum juga selesai. Saya sering mengabaikan
rasa lapar di perut ketika sedang asyik membaca komik. Saya sering curhat
meminta solusi atas masalah saya kepada mereka, tapi saya tidak pernah memberi
kesempatan pada diri saya untuk memberikan alternatif solusi.
Artinya, terjadi ketimpangan intensitas komunikasi ke luar
diri saya (mereka) dengan komunikasi terhadap diri sendiri. Ini mengakibatkan
rasa sepi muncul ketika mereka semua tidak ada, bahkan bisa membuat galau
ketika tidak berbicara dengan mereka walau sehari saja.
Tetapi ternyata sangat tidak adil memperlakukan mereka
secara berlebihan. Parahnya saya tidak pernah menyadari bahwa sebenarnya tempat
untuk berkomunikasi tidak hanya keluar saja tetapi juga ke dalam diri. Sehingga
saya seharusnya sebagai makhluk Allah SWT tidak perlu merasa kesepian yang
mendalam bila mereka tidak ada, karena saya masih punya diri saya sendiri
sebagai teman berkomunikasi.
Saya harus memperlakukan diri saya sebagaimana saya
memperlakukan mereka, saya harus menepati janji terhadap diri sendiri
sebagaimana saya menepati janji saya kepada mereka. Sekarang saya tidak lagi
sendiri karena saya punya diri saya sendiri. Harus adil memperlakukan
lingkungan sosial dengan lingkungan pribadi. I’am not alone anymore even in a lonely place because I have my self
indeed. You and my self are substitution.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar